Selasa, 07 September 2010

Makalah Kebidanan

Faktor-faktor resiko aborsi pada minggu 14-21: sebuah studi kontrol-kasus di Eropa
Pierre-Yves Ancel, Marie-Josèphe Saurel-Cubizolles, Gian Carlo Di Renzo, Emile Papiernik, Gèrard Brèart, The Europop Group
Data dari sebuah survei kontrol-kasus di Eropa, yang dilakukan antara tahun 1994 dengan tahun 1997, digunakan untuk menyelidiki faktor-faktor resiko bagi aborsi spontan pada minggu 14-21 (aborsi telat), menurut status hidup janin sebelum awal persalinan. Aborsi telat mencakup 62 yang melibatkan janin hidup sebelum awal persalinan, 216 aborsi telat janin telah mati, bersama dengan 4592 kontrol kehamilan pada masa (≥37 minggu) dari tujuh negara. Riwayat aborsi yang dipaksa, aborsi spontan dan kelahiran prematur lebih sangat berkaitan dengan aborsi telat dengan janin hidup dibanding dengan aborsi telat dengan janin mati. Wanita berumur ≥35 tahun dan wanita yang hidup sendiri memiliki resiko lebih tinggi dari aborsi telat dibanding wanita berumur 20-24 tahun dan menikah, tanpa memperdulikan status hidup janin sebelum persalinan. Hasilnya memberikan keterangan bahwa riwayat kebidanan dan faktor sosial-demografis adalah faktor-faktor resiko bagi aborsi telat namun ada perbedaan menurut status hidup janin sebelum persalinan.
Kata kunci: studi kontrol-kasus/survei Eropa/status janis/aborsi telat/faktor resiko

Pendahuluan
Aborsi telat merupakan pengalaman yang jarang, yang terdiri dari ~10-30% aborsi spontan (Strobino et al., 1986; Lindbohm dan Hemminki, 1988; Regan et al., 1989), yaitu ~1-2% dari semua kehamilan. Namun, aborsi tersebut bersifat traumatis dan merupakan faktor resiko yang menentukan bagi hasil kehamilan selanjutnya (Reginald et al., 1987; Thom et al., 1992). Hampir semua studi telah mempertimbangkan aborsi spontan secara keseluruhan dan sedikit studi yang telah berfokus pada aborsi spontan telat (trimester kedua).
Beberapa penyebab dari aborsi spontan telah diidentifikasi: kerusakan kandungan, masalah kekebalan, ketidak seimbangan hormon, infeksi dan ketidak normalan janin (Strobino et al., 1986; Hay et al., 1994). Mekanisme fisiologis belum dievaluasi secara seksama, namun beberapa faktor diketahui berkaitan dengan resiko tinggi dari aborsi spontan: riwayat kebidanan yang merugikan, penyakit sebelumnya yang merangsang panggul, usia ibu lanjut, pekerjaan tertentu atau kedapatan (eksposur) saat bekerja, dan kebiasaan merokok (McDonald et al., 1978; Crenn Hebert et al., 1986; Goulet dan Theriault, 1987; Lindbohm dan Hemminki, 1988; Risch et al., 1988; Heisterberg et al., 1993). Meskipun hanya ada sedikit studi terhadap aborsi telat, namun telah ditetapkan bahwa ketidak normalan kromosom jarang terjadi di dalam aborsi telat dibanding aborsi trimester pertama (Warburton et al., 1980), yang menyatakan bahwa penyebabnya sebagian besar berasal dari asal usul ibu.
Tidaklah jelas apakah terdapat faktor-faktor resiko biasa bagi aborsi spontan telat dan kelahiran prematur. Pengetahuan tentang faktor-faktor resiko bagi aborsi telat dan kelahiran prematur berkontribusi bagi pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme-mekanisme yang terlibat selama kelahiran-kelahiran awal. Juga memungkinkan terjadinya pengujian apakah terdapat pengaruh berlanjut dari beberapa faktor resiko selama kehamilan. Bermacam-macam jenis mekanisme etiologis bisa terlibat di dalam aborsi telat. Kami mengelompokkan mekanisme-mekanisme potensial menjadi dua kategori besar. Pertama, gangguan keibuan (kandungan, pembuluh darah atau infeksi), sama dengan gangguan-gangguan yang dilaporkan sebagai faktor-faktor resiko bagi kelahiran prematur, bisa terlibat di dalam aborsi telat, yang mengurangi kemampuan rahim untuk mendukung janin. Kedua, aborsi telat bisa memiliki asal usul gangguan janin. Kami membedakan antara kedua jenis situasi ini dengan mengelompokkan aborsi telat menurut status hidup janin sebelum awal persalinan (hidup atau mati).
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor resiko bagi aborsi trimester kedua, dengan menggunakan data dari studi kontrol-kasus Eropa secara besar-besaran. Kami memeriksa pengaruh bebas dari riwayat kebidanan, status sosial ekonomi, status pernikahan, kebiasaan merokok, dan usia ibu saat terjadinya aborsi trimester kedua menurut status hidup janin (hidup atau mati) dengan segera sebelum awal persalinan.

Bahan dan Metode
Rancangan studi dan perekrutan subyek
Sebuah studi kontrol-kasus yang tidak cocok, studi Europop, dilakukan antara tahun 1994 dengan 1997 di 17 negara Eropa, dengan satu rancangan umum tunggal yang digunakan di tiap negara (Saurel-Cubizolles et al., 1997). Survei ini mencakup dua kelompok kasus: masing-masing kelahiran prematur (22-36 minggu amenorrhoea) dan masing-masing aborsi telat (14-21 minggu amenorrhoea), dan satu kelompok kontrol yang tidak cocok (≥37 minggu amenorrhoea) yang sesuai dengan satu di dalam 10 kelahiran tunggal matang berturut-turut. Pengelompokkan didasarkan para perkiraan kebidanan dari usia kehamilan dengan menggunakan pengujian ultrasound dan penjadwalan hari pertama dari periode menstrual terakhir. Tergantung negaranya, durasi survei di dalam satu unit ibu terbatas pada poin dimana data dari 200 kelahiran prematur berturut-turut telah dikumpulkan, atau 12 bulan.
Hanya aborsi telat dan kelompok kontrol yang termasuk di dalam analisa ini. Informasi tentang status hidup janis sebelum aborsi dikumpulkan dari catatan-catatan medis dan tersedia bagi 278 (96,5%) kasus yang pantas dipilih (n = 288). Analisa ini berfokus pada aborsi spontan, jadi aborsi dilakukan dimana persalinan didorong dengan janin hidup yang mati selama persalinan atau segera setelah kelahiran. Kami mencatat ketujuh negara dengan 15 aborsi telat atau lebih dengan satu jenis kelahiran yang dikenal (persalinan spontan atau didorong) dan status hidup janin; jumlah aborsi telat berdasarkan negaranya adalah sebagai berikut: 19 di Republik Cekoslovakia, 34 di Jerman, 20 di Hungaria, 51 di Italia, 90 di Polandia, 34 di Romania dan 30 di Slovenia. Angka-angka ini terlalu kecil bagi perbandingan yang akan dibuat di antara negara-negara. Analisa ini mencakup 62 aborsi telat dari janin yang hidup sebelum awal persalinan spontan, 216 aborsi telat dari janin mati sebelum awal persalinan (tanpa memperdulikan jenis kelahiran: persalinan spontan dan dibujuk), dan 4592 kontrol pada waktunya (≥37 minggu lengkap).
Pengumpulan data
Data dikumpulkan dengan menggunakan angket yang sama di semua negara. Angket ini, yang telah disebarkan di mana-mana (Saurel-Cubizolles et al., 1997), memiliki dua bagian. Yang pertama diisi dengan mewawancarai para wanita setelah melahirkan, selama mereka berada di satuan ibu. Wawancara ini berkaitan dengan karakteristik demografi, tingkat pendidikan, pekerjaan dan kondisi pekerjaan, status menikah, dan riwayat kebidanan dari para wanita tersebut. Bagian kedua diisi dari catatan-catatan medis dan berkaitan dengan komplikasi selama kehamilan, ketidak mampuan cervic, kerusakan kandungan, penanganan melahirkan, dan usia kehamilan saat akhir kehamilan. Data yang berkaitan dengan kerusakan janin juga dikumpulkan dari catatan medis; informasi terperinci tentang prosedur untuk memastikan adanya kerusakan tidak tersedia di semua negara.
Riwayat kebidanan dikelompokkan menjadi primigravida, multigravida tanpa hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan (aborsi atau kelahiran prematur) (nilai referensi), multigravida dengan aborsi trimester pertama spontan sebelumnya, multigravida dengan aborsi trimester kedua spontan sebelumnya, multigravida dengan kelahiran prematur sebelumnya, dan multigravida dengan aborsi sebelumnya yang dibujuk. Kelompok-kelompok ini sama-sama bersifat ekslusif; para wanita dengan lebih dari satu hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan ditempatkan ke dalam kelompok berdasarkan urutan pilihan berikut: aborsi trimester kedua spontan sebelumnya, kelahiran prematur sebelumnya, aborsi trimester pertama spontan sebelumnya, aborsi sebelumnya yang dibujuk. Kerusakan kandungan, ketidak mampuan cervic dan kerusakan janin didefinisikan dengan menggunakan variabel-variabel dikotomi: 0 (tidak ada) dan 1 (ada).
Tiga faktor sosial dipertimbangkan di dalam analisa ini: tingkat pendidikan wanita, kelas sosial rumah tangga dan status pernikahan. Tingkat pendidikan ditentukan dari usia pada saat akhir sekolah. Kelas sosial rumah tangga yang dicatat adalah yang sesuai dengan pekerjaan wanita atau suaminya (dipilih yang lebih tinggi); untuk wanita single, hanya pekerjaan wanita tersebut yang dipertimbangkan. Di semua negara, pekerjaan disusun menggunakan pengelompokkan International Labour Office (ILO) (ISCO-88, 1991), lima kelompok ditentukan: profesional (kode ILO 1-2 bagi pria atau 1-3 bagi wanita) atau pekerjaan menengah (kode ILO 3 untuk pria atau 4 untuk wanita), pekerja jasa (kode ILO 4-5 bagi pria atau 5 bagi wanita); pekerja industri (kode ILO 6-9 untuk pria atau wanita) dan yang tidak bekerja, berarti bahwa wanita atau pun suaminya tidak memiliki pekerjaan. Status pernikahan termasuk sebagai menikah, tidak menikah dan tinggal dengan bapak dari anak, atau tidak meninggal dan tinggal tanpa suami.
Para ibu ditempatkan di salah satu tiga kategori penggunaan tembakau, berdasarkan kebiasaan merokok yang dilaporkan sendiri selama 3 bulan terakhir hamil; bukan perokok, 1-14 batang per hari dan 15 atau lebih batang per hari.

Analisa statistik
Aborsi telat dengan janin hidup dan mati dibandingkan dengan kelompok kontrol yang dipandang dari segi riwayat kebidanan, kerusakan kandungan, ketidak mampun cervic, kerusakan janin, usia ibu, faktor sosial dan kebiasaan merokok selama kehamilan. Asosiasi kasar dinilai dengan rasio selisih (OR/ odds ratio), dengan menggunakan model regresi logistik polikotomi. Aborsi telat merupakan pengalaman jarang, jadi OR adalah perkiraan yang baik untuk resiko yang relatif. Kami melakukan analisa regresi logistik polikotomi yang mencakup: usia ibu, riwayat kebidanan, kelas sosial rumah tangga, status pernikahan, dan penggunaan tembakau. Untuk alasan statistik, di dalam analisa multivariate, usia maternal diberi nilai: >20, 20-24, 25-34, ≥35; dan riwayat kebidanan dikelompokkan ke dalam primigravida atau multigravida tanpa hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan (nilai referensi), multigravida dengan aborsi spontan sebelumnya (trimester pertama atau kedua) atau kelahiran prematur (kelompok 1), dan multigravida dengan aborsi sebelumnya yang dibujuk (kelompok 2).
Rasio selisih bagi aborsi telat dari janin hidup dan mati dibandingkan dengan menggunakan uji Wald (Hosmer dan Lemeshow, 1989), yang dirumuskan sebagai berikut: W = (bl-bd)’ (Var(bl-bd))-1(bl-bd), dimana: bl dan bd adalah parameter-parameter yang diperkirakan bagi aborsi telat dari janin hidup dan janin mati, secara berurutan, dari regresi logistik polikotomi. Apabila setiap perbedaan parameter adalah nol, maka statistik Wald mengikuti pembagian χ2 (Hosmer dan Lemeshow, 1989).
Rasio selisih secara sistematis dihitung setelah penyesuaian terhadap negara dimana survei dilakukan. Semua nilai P adalah untuk pengujian dua ekor dan tingkat signifikansi dipasang pada 0,05. Jumlah sampel sedikit berbeda antara variabel-variabel disebabkan oleh data yang hilang. SAS (SAS Institute, 1990) dan BMDP (Brown et al., 1990) paket software statistik digunakan.

Hasil
Pembagian aborsi telat di dalam sampel kami, sebagai fungsi dari usia ibu, adalah: 14-15 minggu amenorrhoea (18,3%), 16-17 minggu (25,5%), 18-19 minggu (26,6%) dan 20-21 minggu (29,5%). Pembagian bagi aborsi telat dari janin hidup dan mati tidak berbeda secara signifikan. Konteks klinis berbeda antara aborsi telat dan kontrol. Spesifiknya, kerusakan kandungan berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi dari aborsi telat janin hidup dan hubungan antara kerusakan kandungan dengan aborsi telat janin mati hampir signifikan (Tabel 1). Kerusakan janin sangat lebih berkaitan dengan aborsi telat janin mati (OR = 8.3, 9,5% CI, 4.6-14.9), dibanding dengan aborsi telat janin hidup (OR = 3.0, 95% CI, 0.7-12.9), namun perbedaan OR tidak signifikan. Ketidak mampuan cervic sangat berkaitan dengan aborsi telat janin hidup (OR = 12.3, 95% CI, 6.2-24.2) namun tidak dengan aborsi telat janin mati. Hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan sangat berkaitan dengan kedua kelompok aborsi telat. OR bagi hubungan dengan aborsi spontan akhir sebelumnya (nilai P untuk keheterogenan pada OR <0.05) dan aborsi yang dibujuk sebelumya (nilai P untuk keheterogenan pada OR <0.20) lebih tinggi bagi aborsi telat janin hidup dibanding bagi aborsi telat janin mati. Para wanita berumur ≥40 tahun memiliki resiko yang sangat lebih tinggi dari aborsi telat janin hidup (OR = 8.8, 95% CI, 2.5-30.7) atau janin mati (OR = 6.8, 95% CI, 3.7-12.4) dibanding wanita berumur 20-24 tahun (Tabel II). Para wanita yang tinggal sendiri setidaknya tiga kali lebih besar dari wanita yang menikah untuk mengalami aborsi telat, tanpa memperdulikan status hidup janin, dan pengangguran berkaitan dengan resiko dua kali lipat dari aborsi telat. Tidak ada perbedaan yang tampak di dalam OR yang berkaitan dengan usia ibu, status pernikahan dan kelas sosial rumah tangga menurut status hidup janin sebelum persalinan. Tingkat pendidikan yang rendah berkaitan dengan resiko tiga kali lipat dari aborsi telat janin hidup, sedangkan tidak ada kaitan yang ditemukan dengan aborsi telat janin mati (nilai P bagi keheterogenan OR = 0.05). Hubungan antara merokok ≥ 15 batang per hari dengan aborsi telat janin hidup (OR = 2.7, 95% CI, 0.9-7.9) tidak cukup signifikan, sedangkan yang dengan aborsi telat janin mati tidak signifikan (OR = 1.7, 95% CI, 0.8-3.8); namun, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati di antara kedua OR ini. Di dalam analisa multivariate, faktor-faktor yang secara bebas berkaitan dengan aborsi telat setelah penyesuaian adalah: aborsi spontan sebelumnya atau kelahiran permatur, usia ibu lanjut (≥35 tahun) dan yang hidup sendiri (Tabel III). OR untuk hubungan aborsi telat janin hidup dengan aborsi sebelumnya, kelahiran prematur dan aborsi sebelumnya yang dibujuk adalah lebih tinggi daripada OR untuk hubungan faktor-faktor dengan aborsi telat janin mati (nilai P untuk keheterogenan OR < 0.05). Status sosio-ekonomi yang rendah, yang didefinisikan sebagai pekerja jasa, pekerja industri atau rumah tangga yang tidak bekerja, cenderung berkaitan dengan resiko aborsi telat janin hidup dua kali lipat, namun kaitan ini hanya signifikan bagi pekerja industri. Tidak ada perbedaan OR yang tampak bagi usia ibu, status pernikahan dan kelas sosial rumah tangga. Kebiasaan merokok tidak berkaitan dengan aborsi akhir setelah penyesuaian bagi covariate. Pembahasan Sedikit data yang telah dipublikasikan mengenai faktor-faktor resiko bagi aborsi telat. Keuntungan dari kumpulan data yang digunakan di sini adalah banyak, untuk hasil yang jarang seperti ini, dengan pencatatan karakteristik medis dan sosial yang distandardisasikan bagi kelompok kasus dan kelompok kontrol (saat kelahiran pada waktunya). Analisa ini memberikan hasil baru, dengan membandingkan kedua kelompok aborsi telat yang ditentukan berkaitan dengan status hidup janin sebelum awal persalinan. Seperti yang telah diduga, riwayat kebidanan merupakan prediktor kuat dari aborsi telat. Kami menemukan bahwa hubungan dengan riwayat kebidanan adalah lebih kuat bagi aborsi telat janin hidup dibanding aborsi telat janin mati. Usia ibu lanjut dan yang tinggal tanpa suami sangat berkaitan dengan aborsi telat, tanpa memperdulikan status hidup janin sebelum persalinan. Status sosio-ekonomi yang rendah berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi dari aborsi telat, khususnya bagi aborsi janin hidup. Kebiasaan merokok yang berat secara signifikan tidak berkaitan dengan aborsi telat setelah penyesuaian bagi covariate, tanpa memperdulikan status hidup janin. Sedikit aborsi telat yang dicatat pada hampir semua 17 negara yang berpartisipasi, yang menunjukkan bahwa perekrutan kasus tidak lengkap di dalam negara-negara ini. Negara-negara ini juga mencakup sejumlah besar kontrol. Kami memutuskan untuk mengecualikan negara-negara dengan lebih sedikit dari 15 aborsi agar dapat mencegah penyeleksian kasus dan perwakilan kontrol yang berlebih-lebihan di dalam sampel. Aborsi janin hidup setelah awal persalinan yang dibujuk dikecualikan karena studi ini berkenaan dengan etiologi aborsi spontan. Aborsi awal diabaikan di hampir semua studi berbasis rumah sakit karena gejala-gejalanya tidak selalu diketahui (Lindbohm dan Hemminki, 1988). Sebaliknya, para wanita yang mengalami aborsi antara 14 dan 21 minggu kehamilan kemungkinan besar dirawat di rumah sakit disebabkan oleh gejala yang tampak pada tahap kehamilan selanjutnya. Di dalam sampel kami, lebih sedikit aborsi yang dilaporkan antara 14 dengan 15 minggu dibanding yang dilaporkan lebih dari 15 minggu selama masa kehamilan, malahan telah diduga adanya penurunan prevalensi nyata dengan usia kehamilan (Modvig et al., 1990). Hal ini menunjukkan bahwa aborsi trimester kedua awal mungkin diabaikan di dalam sampel kami. Selain itu, unit-unit ibu yang berpartisipasi dimasukkan atas dasar sukarela dan dengan demikian kelompok kontrol mungkin tidak mewakili populasi keseluruhan. Lebih banyak komplikasi kehamilan daripada yang telah diduga dari populasi keseluruhan dapat dimasukkan apabila unit-unit ibu ini merekrut pasien yang beresiko. Namun, merupakan hal yang sulit untuk menentukan apakah bias penyeleksian ini (untuk kasus dan kontrol), apabila memang ada, mengubah hubungan antara aborsi telat dan bermacam-macam faktor resiko. Terakhir, disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit dari masing-masing negara, perbedaan antara negara-negara tidak dipertimbangkan di dalam analisa ini. Bagi alasan metodologis, semua perkiraan disesuaikan dengan negaranya masing-masing. Penyesuaian ini dapat menghasilkan hubungan-hubungan yang tidak bias dengan mencakupkan pengaruh-pengaruh yang memperkacau disebabkan oleh perbedaan struktur demografi dan sosial di antara negara-negara. Ketidak mampun cervic sangat berkaitan dengan aborsi telat janin hidup. Ketidak mampuan cervic merupakan faktor resiko proksimal yang terkenal bagi aborsi spontan dan kelahiran prematur (Strobino et al., 1980; Berkowitz dan Papiernik, 1993). Diduga adanya hubungan yang kurang dengan aborsi telat janin mati karena ketidak mampuan cervic tidak langsung menyebabkan janin mati. Terakhir, kami menemukan sebuah hubungan kuat antara aborsi telat janin mati dengan ketidak normalan janin. Hasil ini menunjukkan bahwa ketidak normalan kandungan-cervic sangat terlibat di dalam aborsi telat dimana janin hidup sebelum awal persalinan, sedangkan kerusakan janin merupakan faktor resiko besar bagi kematian janin. Kami tidak memasukkan kedua faktor ini di dalam analisa multivariate, karena keduanya lebih proksimal di dalam causal pathway dan bisa menjadi konsekuensi dari beberapa faktor lainnya. Misalnya, ketidak mampuan cervic telah didiagnosa setelah aborsi telat sebelumnya atau kelahiran prematur awal. Maka dari itu, resiko penyesuaian yang berlebih-lebihan adalah tinggi dan kami memilih untuk menaksir hubungan dengan prediktor umum tanpa mempertimbangkan faktor-faktor klinis ini. Pengalaman patologis sebelumnya di dalam riwayat kebidanan pasien secara akurat telah dilaporkan oleh kasus daripada oleh kontrol. Hasil kami konsisten dengan hasil yang dilaporkan di dalam studi prospektif sebelumnya (Regan et al., 1989). Seperti yang telah diduga, hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan sangat berkaitan dengan aborsi telat, dan aborsi spontan telat sebelumnya itu sendiri merupakan faktor yang paling prediktif. Telah dilaporkan bahwa aborsi spontan yang berulang seringkali menyakut janin yang kromosomnya normal (Strobino et al., 1986; Kline et al., 1989a). Dengan demikian, hubungan yang lebih kuat dengan aborsi telat janin hidup (yang lebih sering kromosomnya normal) dibanding dengan aborsi telat janin mati (lebih sering kromosomnya tidak normal) telah diduga sebelumnya. Lalu, di dalam data kami, hubungan antara aborsi telat janin hidup dengan aborsi spontan sebelumnya atau kelahiran prematur menurun setelah penyesuaian bagi ketidak mampuan cervic (data tidak ditunjukkan), yang menunjukkan adanya hubungan kausal antara ketidak normalan cervic dengan terulangnya aborsi telat. Aborsi sebelumnya yang dibujuk secara signifikan berhubungan dengan aborsi telat janin hidup sedangkan tidak ada hubungan dengan aborsi telat janin mati. Telah ditunjukkan bahwa aborsi yang dibujuk meningkatkan resiko aborsi spontan selanjutnya, dengan merusak cervix atau rahim (Kline et al., 1989b), namun masih terdapat beberapa perdebatan tentang peranan yang tepat (Rowland Hogue et al., 1982). Kami menemukan sebuah hubungan signifikan antara usia ibu dengan aborsi telat, tanpa memperdulikan status hidup janin, seperti yang sebelumnya dilaporkan bagi aborsi-aborsi spontan secara keseluruhan (Rish et al., 1988). Penuaan dapat mempengaruhi kualitas dan kelangsungan hidup embrio. Ketika frekuensi aborsi dengan ketidak normalan kromosom bertambah seiring usia ibu (Stein, 1985), maka resiko yang lebih tinggi dari aborsi telat bagi wanita yang lebih tua sebagian dapat mencerminkan ketidak normalan kromosom janin yang menghasilkan kematian janin. Pelemahan fungsi kandungan, di dalam kapasitas kandungan untuk mendukung janin (Stein, 1985) atau yang melibatkan hipoperfusi uteroplacental (Naeye, 1983), juga dapat meningkatkan resiko aborsi telat. Namun, para wanita yang mudah mengalami aborsi spontan harus hamil lebih sering dibanding para wanita beresiko rendah untuk memperoleh seorang anak yang hidup, sehingga mereka kemungkinan besar hamil disaat mereka lebih tua. Penyeleksian kesuburan ini menghasilkan sebuah peningkatan resiko yang nyata dengan usia, sedangkan resiko lebih besar sesungguhnya bisa disebabkan oleh proses khusus tanpa memperdulikan usia (Modvig et al., 1990). Meskipun demikian, di dalam analisa kami, pengaruh usia ibu disesuaikan dengan baik untuk hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan. Dengan demikian, hasil kami konsisten dengan usia ibu lanjut yang berkontribusi bagi terjadinya aborsi telat. Hubungan antara status sosial dengan aborsi spontan tidaklah jelas. Tingkat pendidikan yang rendah telah dilaporkan berkaitan dengan aborsi spontan (Parazzini et al., 1997), namun beberapa studi telah melaporkan tidak ada hubungan dengan status sosio-ekonomi (Rachootin dan Olsen, 1982; Parazzini et al., 1991). Aborsi spontan awal kemungkinan lebih sering diidentifikasi secara medis pada wanita yang memiliki akses yang lebih awal untuk mendapatkan perawatan medis, disebabkan oleh deteksi kehamilan yang lebih awal, dan wanita ini bisa berada di dalam kategori sosio-ekonomi yang lebih tinggi. Di dalam analisa kami yang terbatas pada aborsi telat, resiko lebih tinggi bagi para wanita pada kelompok sosio-ekonomi yang rendah. Lalu, tingkat pendidikan yang rendah dan status sosio-ekonomi yang rendah tampak lebih berkaitan dengan aborsi telat janin hidup dibanding dengan aborsi telat janin mati. Meskipun pengangguran berkaitan dengan resiko dua kali lipat dari aborsi telat janin mati di dalam analisa univariate, namun hubungan ini tidak signifikan setelah penyesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa status pernikahan, usia ibu dan riwayat kebidanan sebagian berkontribusi bagi hubungan univariate. Analisa yang lebih jauh, dengan kekuatan statistik yang lebih besar, berfokus pada perilaku, kondisi hidup dan kerja, diperlukan untuk menjelaskan hubungan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi sosial yang buruk merupakan faktor resiko, walaupun non-proksimal bagi aborsi telat. Wanita yang tidak menikah yang tinggal tanpa suami memiliki resiko yang lebih tinggi dari aborsi telat dibanding wanita lainnya, tanpa memperdulikan status hidup janin sebelum awal persalinan. Stress disebabkan oleh kondisi sosial dari hampir semua wanita ini (kemiskinan, kehamilan yang tidak diinginkan, kesepian, perlakuan kejam terhadap fisik) dapat menjadi faktor penyebab penyakit (patogenis). Misklasifikasi juga dapat terjadi di dalam kelompok berikut: wanita itu sendiri dapat menyebabkan aborsi dan kemudian dirawat di rumah sakit, dimana pegawai kebidanan mendiagnosa aborsi spontan. Tidak ada data yang tersedia perihal masalah ini. Sebuah hubungan sederhana, meskipun tidak signifikan ditemukan di antara perokok berat selama kehamilan dengan aborsi telat bagi janin hidup sebelum awal persalinan. Hal ini konsisten dengan studi-studi sebelumnya yang melaporkan sebuah pengaruh signifikan dari konsumsi tembakau yang tinggi (≥20 batang per hari), namun hubungan yang lemah atau tidak ada hubungan bagi tingkat konsumsi sedang (Armstrong et al., 1992; Windham et al., 1992; Kline et al., 1995). Namun, perokok berat tidak berhubungan dengan aborsi telat setelah penyesuaian covariate. Temuan-temuan ini dapat ditafsirkan dengan beberapa cara. Pertama, hubungan sederhana sebagian dapat ditimbulkan oleh faktor resiko lainnya. Kedua, studi-studi sebelumnya memberikan keterangan tertentu tentang sebuah hubungan antara merokok selama kehamilan dan aborsi janin yang kromosomnya normal (Kline et al., 1995), yang menunjukkan bahwa pengaruh merokok kemungkinan merupakan hal yang paling mudah dideteksi dengan janin-janin yang dapat hidup terus (Kline et al., 1989b). Hal ini konsisten dengan hasil kami, karena frekuensi dari ketidak normalan janin adalah lebih rendah pada janin hidup yang diaborsi telat dibanding pada kelompok dengan janin mati. Dengan mengasumsikan sebuah hubungan kausal dengan merokok, tingkat kedapatan (eksposur) yang rendah di dalam populasi ini tidak menunjukkan resiko yang diduga rata-rata lebih tinggi disebabkan oleh kurangnya kekuatan statistik. Data yang dianalisa diperoleh dengan wawancara retrospektif. Merupakan hal yang mungkin bahwa para wanita yang mengalami aborsi telat menganggap remeh kebiasaan merokok mereka dibanding kelompok kontrol, yang mengarah kepada pengabaian pengaruh merokok. Temuan kami konsisten dengan aborsi telat dan kelahiran prematur awal yang memiliki faktor-faktor resiko umum, begitu juga usia ibu lanjut dan hasil kehamilan sebelumnya yang merugikan juga telah dilaporkan meningkatkan resiko kelahiran prematur awal (Hoffman dan Bakketeig, 1984; Ancel et al., 1999). Lalu, aborsi telat sebelumnya dianggap sebuah faktor resiko bebas bagi kelahiran prematur awal (Hoffman dan Bakketeig, 1984; Ancel et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme-mekanisme pokok umum bisa terlibat di dalam kedua hasil kehamilan. Dengan demikian, hasil kami memberikan keterangan bahwa riwayat kebidanan dan faktor-faktor sosial adalah faktor-faktor resiko bagi aborsi telat. Kami juga mampu menentukan kekuatan hubungan dan mampu menunjukkan perbedaan menurut status hidup janin sebelum awal persalinan. Kami menyadari bahwa pengelompokkan ini sedikit berubah-ubah, namun, seperti beberapa laporan yang telah dipublikasikan perihal faktor-faktor resiko bagi aborsi telat, hasil kami memberikan informasi baru yang berharga. Peran dari perfusi uteroplasental yang tidak sempurna serta infeksi memerlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman kami tentang kedua jenis aborsi telat ini. Hubungan kuat antara status pernikahan dengan aborsi telat menunjukkan bahwa faktor-faktor pokok, seperti kondisi sosial atau psikologis yang buruk, dapat terlibat di dalam hubungan yang ada, dan menunjukkan bahwa para ahli klinik harus mempertimbangkan hasil tersebut di dalam strategi pencegahan mereka. Ibu perokok dan resiko kehamilan menimbulkan hipertensi dan eclampsia Diterima 13 oktober 2005 Latar belakang Walaupun pada studi sebelumnya telah ditemukan bahwa ibu perokok menimbulkan resiko hipertensi yang mempengaruhi kehamilan (PIH), perbedaan dari pengaruh ini antara wanita primiparous dan multiparou s tidak dikaji dengan baik dan hasil yang tidak konsisten dari hubungan reaksi-bukaan antara ibu perokok dan PIH. Belum ada studi yang meneliti hubungan antara ibu perokok dan eclampsia sebelumnya. Metode Kami menganalisa data dari studi kelompok restropektif berbasis populasi (jumlah penduduk) pada 3.153. 944 kehamilan tunggal di Amerika Serikat. Data yang didapatkan dari database nasional terkait kelahiran dan kematian bayi tahun 1998. Berbagai regresi logistik digunakan untuk menggambarkan hubungan antara perokok dan PIH serta eclampsia. Hasil Rasio ganjil yang disesuaikan (OR) [95% interval kepercayaan (95% CIs)] untuk PIH yaitu 0.80 (0.77-0.83) untuk wanita primiparous dan 0.81 (0.78-0.83) untuk wanita multiparous antara wanita/ibu perokok dan bukan perokok. OR yang cocok disesuaikan (95% CI) untuk eclampsia secara berurutan adalah 0.74 (0.66-0.82) dan 0.75 (0.68-0.83). untuk PIH, OR yang disesuaikan adalah (95% CI) untuk para perokok dan bukan perokok secara berurutan adalah 0.82 (0.79-0.86), 0.81 (0.78-0.83), 0.80 (0.77-0.83), dan 0.88 (0.79-0.98), untuk 1-5, 6-10, 11-20, dan >20 rokok per hari (pengujian kecenderungan: P = 0.86). Angka yang tepat untuk eclampsia secara berurutan adalah 0.85 (0.75-0.95), 0.74 (0.66-0.82), 0.68 (0.58-0.78), dan 0.73 (0.49-1.04), (pengujian kecenderungan: P = 0.02)
Kesimpulan Ibu perokok menimbulkan resiko PIH dan eclampsia, dengan hubungan reaksi-bukaan terbalik yang signifikan yang jelas untuk eclampsia.
Kata kunci Merokok, kehamilan menyebabkan hipertensi, eclampsia, reaksi-dosis, keseimbangan.

PIH adalah sebuah komplikasi utama dalam kehamilan, yang dapat menyebabkan proses melahirkan secara prematur, batasan pertumbuhan intraurine (IUGR), putusnya plasenta secara tiba-tiba, kematian janin, mau pun kematian atau morbiditas (mudah terkena sakit) si ibu. Penyebab dari PIH tidak diketahui, walaupun beberapa unsur telah dikenali. Ibu perokok dikaitkan dengan peningkatan resiko jumlah hasil kehamilan yang kurang baik, termasuk putusnya plasenta, plasenta previa, selaput putus sebelum saatnya, melahirkan sebelum waktunya, IUGR, dan kematian bayi selama periode perinatal. Secara paradoks, ibu perokok dapat menimbulkan resiko PIH dan eclampsia. Selain itu, beberapa peneliti melaporkan bahwa wanita yang berhenti merokok selama awal masa kehamilan juga memiliki tingkat resiko hipertensi yang rendah pada masa kehamilan akhir bila dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Akan tetapi, sebuah studi baru-baru ini telah menemukan bahwa merokok tidak mengurangi resiko perkembangan pra-eclampsia.
Wanita primiparous dan multiparous mungkin memiliki penyebab PIH dan pra-eclampsia yang berbeda-beda. Dengan mempertimbangkan bahwa pengaruh dari merokok akan bermacam-macam, yang mungkin adalah alasan dari penemuan yang tidak konsisten pada penelitian sebelumnya. Sebagian besar penelitian terdahulu menggabungkan wanita primiparous dan multiparous, atau hanya memusatkan pada wanita primiparous saja. Hanya dua studi yang dilakukan berdasarkan pada analisa yang dibagi tingkatannya oleh kesamaan dan hasilnya tidak sesuai. Sebuah jenis studi berskala besar yang perlu dilaksanakan disini untuk dapat mengevaluasi hasil-hasil untuk wanita primiparous dan multiparous secara terpisah dengan kekuatan statistik yang mencukupi. Hubungan reaksi-bukaan yang sesuai antara ibu perokok dan PIH serta pra-eclampsia juga sangat kurang.
Persoalan-persoalan lain juga harus dievaluasi. Sebagian besar studi terdahulu tidak menyesuaikan untuk faktor-faktor penting yang membingungkan dalam hubungan antara merokok dan pra-eclampsia, seperti status sosioekonomi, serta bertambahnya berat badan selama masa kehamilan. Tidak ada studi yang menguji secara spesifik mengenai hubungan antara ibu perokok dan eclampsia, mungkin karena terdapat sedikit kasus untuk dianalisa.
Analisa terkini didasarkan pada data dari studi berbasis populasi besar di Amerika Serikat. Sasaran utama kami adalah untuk menguji asosiasi antara ibu perokok dan PIH serta eclampsia baik pada wanita primiparous dan multiparous dan untuk menentukan apakah merokok dapat mempengaruhi PIH dan eclampsia menurut cara yang bergantung pada dosis.

Metode-metode
Data yang diperoleh dari database tautan nasional kelahiran/kematian bayi tahun 1998 yang disediakan oleh National Center for Health Statistics, Center for Disease Control and Prevention. Informasi pada kelahiran, kematian janin, dan bayi hingga satu tahun dicatat di 50 negara bagian dan di District of Columbia, disandikan sebelumnya sesuai dengan spesifikasi yang sama, serta disubyekkan pada pemeriksaan kualitas yang sangat bersemangat oleh netional center for health statistics. Wanita dengan kelahiran lebih dari satu, usia kehamilan <20 minggu, penyakit jantung, diabetes, hipertensi kronis, gangguan ginjal, atau tidak ada informasi pada ibu perokok, yang tidak dicantumkan pada analisa kami. Database ini meliputi informasi sosiodemografis pada orang tua, fakror-faktor gaya hidup ibu seperti merokok dan konsumsi alcohol selama masa kehamilan, sejarah kandungan, komplikasi yang berkaitan dengan masa kehamilan, berat badan ibu bertambah selama masa kehamilan, jenis kelahiran, berat bayi, dan usia kandungan/kehamilan pada saat melahirkan. Subyek diklasifikasikan kedalam bukan perokok dan perokok, dengan perokok ditetapkan sebagai seorang yang merokok kapan saja selama masa kehamilan. Tingkat konsumsi rokok tiap hari juga dicatat pada salah satu dari empat kategori (1-5, 6-10, 11-20, dan >20 rokok per hari). Informasi sosiodemografis dikumpulkan dari ibu atau catatan medis pada saat melahirkan ketika akte kelahiran telah selesai.
PIH dan eclampsia disandikan sebelumnya pada database ini. PIH dinyatakan sebagai sebuah peningkatan pada tekanan darah sedikitnya 30 mm Hg sistolis atau 15 mm Hg diastolik pada dua pengukuran yang diambil enam h terpisah setelah minggu ke-20 masa kehamilan bila dibandingkan dengan penilaian sebelumnya yang dilakukan oleh para profesional. Kasus-kasus hipertensi kronis, ditetapkan sebagai sebuah tekanan darah yang terus menerus >140/90, didiagnosa sebelumnya pada permulaan kehamilan atau sebelum minggu ke-20 masa kehamilan, hal ini tidak disertakan dari diagnosa ini. Pra-eclampsia ditetapkan sebagai PIH dengan proteinuria (protein dalam urin) sedikitnya 1+ atau lebih pada tongkat ukur pada 2 sampel 6 h terpisah atau >0.3 g dalam sebuah rangkaian urin 24 h. Eclampsia ditetapkan sebagai kejadian ledakan dan/atau keadaan koma, tidak terkait dengan kondisi-kondisi lain pada wanita dengan tanda-tanda dan gejala-gejalan pra-eclampsia.
Kami mentabulasikan ciri-ciri penting dari studi populasi dan menghitung insiden PIH dan eclampsia sesuai dengan ciri-ciri ini. Rasio ganjil yang kasar dan disesuaikan (OR) untuk ibu perokok diasosiasikan dengan PIH dan eclampsia diperkirakan dengan menggunakan regresi logistik tanpa syarat. Variabel-varibel yang berpotensi membingungkan desertakan dalam model-model regresi yang yaitu usia, ras, pendidikan, status pernikahan, persamaan, konsumsi alkohol selama masa kehamilan, dan usia kandungan ibu. Indeks Kessner yang dimodifikasi diterapkan untuk mengukur kecukupan perawatan pra-natal (sebelum kelahiran) yang disandikan sebelumnya oleh National Center for Health Statistics sesuai dengan permulaan perawatan trimester (tiga bulan) pertama dan sejumlah kunjungan perawatan pra-natal tertentu untuk usia kandungan pada saat kelahiran. Analisa selanjutnya dibagi menjadi tingkatan oleh persamaan. Hubungan reaksi-bukaan dinilai dengan menguji kecenderungan linier. Semua analisa dilaksanakan dengan menggunakan SAS-PC software statistik versi 8 (SAS Inc., NC).

Hasil-hasil
Data yang diperoleh dari database tautan nasional kelahiran/kematian bayi tahun 1998. Pada awalnya disertakan total kehamilan sekitar 3.153.944 (kecuali Negara Bagian California, Indiana, South Dakota, dan New York dimana informasi mengenai ibu perokok tidak tersedia). Kami tidak mencantumkan informasi wanita yang menderita penyakit jantung (18.844 kasus), diabetes (86.112 kasus), hipertensi kronis (20.796 kasus), gangguan ginjal (8665 kasus), usia kandungan <20 minggu (6972 kasus), serta informasi yang hilang mengenai ibu perokok (185.867 kasus) di negara-negara bagian yang mencatat data penggunaan tembakau. Kami selanjutnya tidak menyertakan 279.175 wanita dengan ko-variasi dalam analisa multi-variasi PIH dan 264.858 wanita pada analisa multi-variasi eclampsia. Total 109.799 wanita dengan PIH juga tidak disertakan dalam analisa eclampsia. Setelah pengecualian ini, 2.619.513 kehamilan tersedia untuk melakukan analisa PIH bersama dengan 2.524.031 kehamilan untuk analisa eclampsia (beberapa subyek memiliki syarat pengecualian lebih dari satu). Ciri-ciri ibu dan janin dari subyek studi ditunjukkan pada Tabel 1, bersama dengan insiden dari PIH dan eclampsia (Tabel 1). Sekitar 12.7% ibu yang merokok selama masa kehamilan. Insiden PIH dan eclampsia secara berurutan adalah 3.7% dan 0.3%. Insiden baik PIH dan eclampsia sangat tinggi pada bukan perokok, ibu-ibu muda, wanita ≥ usia 40 tahun, ibu yang berat badannya naik selama masa kandungan >45 pon (22.5 kg), dan ibu yang melahirkan bayinya sebelum 36 minggu. Wanita multiparous, rasa atau suku bangsa selain berkulit putih (kaukasoid) atau hitam, wanita dengan berat badan kurang dari 35 pon (17.5 kg), dan mereka yang melahirkan bayinya kurang dari 40 minggu memiliki sedikit kemungkinan untuk mengembangkan PIH dan eclampsia.
Resiko PIH dan eclampsia dalam hubungan dengan ibu perokok secara berurutan ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3. ORs yang disesuaikan [95% konfidensi interval (95% CI] untuk PIH adalah 0.81 (0.79-0.83) untuk semua wanita, 0.80 (0.77-0.83) untuk wanita primiparous, dan 0.81 (0.78-0.83) untuk wanita multiparous diantara para ibu perokok bila dibandingkan dengan bukan perokok. OR disesuaikan yang sesuai (95% CI) untuk eclampsia secara berurutan adalah 0.75 (0.70-0.81), 0.74 (0.66-0.82), dan 0.75 (0.68-0.83).
Tabel 4 menggambarkan hubungan reaksi-bukaan antara ibu perokok baik dengan PIH dan eclampsia. Walaupun dalam pengamatan terdapat sebuah hubungan reaksi-bukaan terbalik secara signifikan antara perokok dan eclampsia, resiko PIH tampaknya tidak tergantung pada jumlah ibu yang merokok.
Pembahasan
Studi berbasis populasi berskala besar terkini memberikan bukti bahwa ibu yang merokok diasosiasikan dengan sebuah penurunan resiko berkembangnya PIH dan eclampsia baik pada wanita primiparous dan multiparous. Terdapat hubungan reaksi-bukaan terbalik yang signifikan antara ibu perokok dan eclampsia. Pada sebuah tinjauan sistematis terdahulu mengenai data yang tersedia dari studi-studi yang dilakukan di berbagai negara, dilaporkan sebuah rasio ganjil yaitu 0.7 PIH untuk ibu yang saat ini merokok vs tidak pernah merokok, sebuah nilai serupa juga terdapat pada OR yang disesuaikan yaitu sebesar 0.80 untuk PIH dan 0.75 untuk eclampsia pada studi yang sedang dilakukan.
Studi kami, yang menyertakan ukuran sampel yang lebih besar daripada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Marten dan Xiong menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh ibu yang merokok pada PIH dan eclampsia tampak serupa pada wanita primiparous dan multiparous. Beberapa laporan memberitahukan bahwa para ibu perokok mungkin hanya sedikit berdampak pada pra-eclampsia pada wanita multiparous. Akan tetapi, kurangnya kaitan pada wanita multiparous mungkin disebabkan kurangnya jumlah sampel, karena insiden pra-eclampsia sangat rendah pada wanita multiparous. Penemuan kami sesuai dengan yang dilaporkan oleh Conde-Agudelo dan Belizan dimana pola faktor-faktor resiko diantara wanita primiparous dan multiparous cukup mirip.
Pada studi kami, eclampsia, dan bukan PIH, menunjukkan sebuah hubungan reaksi-bukaan terbalik. Ansari dan rekan-rekan juga menemukan bahwa kaitan dari eclampsia dengan tembakau adalah terbalik dan berkaitan dengan dosis ketika mereka melakukan studi pengendalian kejadian untuk menguji resiko eclampsia berkenaan dengan beberapa cir-ciri dan bukaan para ibu. Hasil studi mereka dapat diperbandingkan dengan studi kami.
Mekanisme biologis potensial esensial mengamati kaitan antara ibu perokok dan PIH/pra-eclampsia/eclampsia tidak dipahami sepenuhnya. Pra-eclampsia dari awal terkait dengan sistem kekebalan. Wanita yang merokok mungkin memiliki pengurangan respon kekebalan dan, oleh karena itu, tidak memiliki kemungkinan untuk mengembangkan respon kekebalan berlebihan seperti yang terlihat pada pra-eclampsia. Pra-eclampsia adalah keadaan hypocalciuric . Merokok, yang mengganti tingkat hormon paratiroid dan produksi adrenal cortex steroid, akan membantu mengubah metabolisme kalsium. Zhang dan rekan-rekan berspekulasi bahwa merokok akan menyebabkan beberapa enzim-enzim hati yang dapat memetabolisasi racun endothelial apa saja yang dihasilkan oleh plasenta karena merokok tampak terus meneruskan pengaruh protektifnya selama masa kehamilan. Akan tetapi, insiden Phenobarbital (sebuah induktor dari enzim hati bioaktivitas yang terkenal) diantara para wanita dengan hipertensi hampir sama dengan sebagian dari wanita lain didalam populasi. Karena perokok terbuka terhadap berbagai banyak sekali zat-zat kimiawi yang terdapat dalam rokok, sangat penting sekali untuk menentukan senyawa-(senyawa) yang diperlukan dalam mengurangi resiko perkembangan PIH/pra-eclampsia/eclampsia. Thiocymite memiliki pengaruh hipotensif. Nikotin akan menghambat produksi thromboxane A2 (zat-zat dalam platelet—partikel-partikel darah—yang menyebabkan penggumpalan darah), vascoconstrictor (penyempitan pembuluh darah) dan sebuah stimulator pengumpulan platelet. Akan tetapi, sebuah studi terkini mengenai penggunaan snuff (bentuk tembakau yang tidak dibakar) pada kehamilan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dikaitkan dengan penurunan insiden pra-eclampsia pada perokok mungkin karena zat-zat yang mudah terbakar seperti karbon monoksida. Merokok juga semakin mengatur sistem antioksidan didalam plasenta, yang sesuai dengan petunjuk sebelumnya dimana tekanan oksidatif plasenta dapat terlibat dalam penyebab dari pra-eclampsia. Mekanisme ini dapat diperantarai oleh pengaruh ibu yang merokok pada tingakt endogenus estrogen. Ibu yang merokok selama masa kehamilan dilaporkan memiliki tingkat estrogen yang rendah yaitu 20%. Tingkat plasma estrogen juga lebih rendah pada pasien pra-eclamptis daripada kehamilam normal, dan dengan penggunaan estradiol benzoatedan progesterone untuk perawatan pra-eclampsia akut telah memperlihatkan hasil-hasil yang sangat baik. Akan tetapi, studi-studi ini didasarkan pada jumlah pasien yang sedikit dan tidak termasuk kemungkinan kesalahan dari jenis I.
Studi kami memiliki beberapa kekuatan dalam bila dibandingkan dengan studi sebelumnya. Studi ini merupakan studi berbasis-populasi terbesar yang dilakukan sampai saat ini yang memberikan wawasan mengenai hubungan antara ibu perokok dan eclampsia. PIH dan eclampsia disandikan sesuai dengan penyeragaman spesifikasi. Data studi mengandung rincian informasi mengenai konsumsi rokok tiap hari selama masa kehamilan maupun demografi ibu-ibu hamil dan informasi medis.
Pembatasan penggunaan data akte kelahiran harus dibenarkan. Ketika konsumsi rokok selama masa kehamilan dilaporkan oleh sendiri ibu-ibu hamil ini, kemungkinan besar dilaporkan lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Pada kejadian ini, ukuran yang sebenarnya dari pengaruh ibu perokok pada PIH dan eclampsia mungkin telah diremehkan. Tidak ada informasi mengenai bapak yang seorang perokok dan atau perokok pihak-ke-dua, yang memperburuk hubungan antara ibu perokok dan PIH, walaupun Pazzini dan rekan tidak menemukan sebuah hubungan antara bapak yang seorang perokok dengan resiko PIH. Dan lagi, tidak ada informasi mengenai ibu yang merokok selama masa pra-kehamilan atau berhenti merokok selama masa kehamilan. Para ibu-ibu yang kadang-kadang merokok atau perokok berkala yang termasuk dalam bukan perokok dalam database ini, akan melemahkan estimasi pengearuh yang kami perkirakan. Persoalan lain terkait dengan kesalahan penggolongan yang mungkin terjadi pada hasil akhir kehamilan. Apabila eclampsia ternyata adalah penyakit akut atau parah, kesalahan penggolongan eclampsia akan sangat rendah. Akan tetapi, insiden PIH dalam database tampaknya lebih rendah daripada studi sebelumnya. Jika probabilitas dari kesalahan penggolongan dari masing-masing variabel bernilai sama untuk setiap kategori dari variabel lain (kesalahan penggolongan non-diferensial) dan jika kesalahan untuk variabel-variabel yang berbeda bersifat independen, pengaruh yang diperkirakan biasanya condong terhadap nilai-nilai yang tidak berlaku. Tidak ada alasan untuk meyakini bahwa kesalahan penggolongan PIH dan eclampsia terkait dengan (atau tergantung pada) status merokok. Oleh karena itu, pengaruh merokok akan menjadi lebih kuat jika tidak ada kesalahan penggolongan dari PIH dan eclampsia. Sayangnya, kami tidak dapat menguji pengaruh merokok pada pra-eclampsia dari PIH apalagi hanya karena PIH dan eclampsia yang disandikan dalam database kami.
Walaupun pengaruh ‘protektif’ dari merokok yang jelas terlihat pada PIH dan eclampsia, merokok dikaitkan dengan peningkatan substansial dalam kematian dan morbiditas bayi yang baru lahir para ibu perokok yang menunjukkan tanda-tanda dan gejala pra-eclampsia menunjukkan resiko kematian kematian bayi selama periode perinatal, abrupto placentae (putusnya plasenta), dan kecil untuk usia bayi. Hasil akhir perinatal secara signifikan kurang disukai oleh para pasien pra-eclamptis yang merokok. Karenanya, wanita hamil harus didorong untuk berhenti merokok. Walaupun begitu, sebuah pemahaman mekanisme ibu perokok mana yang lebih baik yang mempengaruhi patogenesa (sumber dan pengaruh dari penyakit) hipertensi selama masa kehamilan akan memberikan petunjuk-petunjuk untuk mencegah dan melakukan pengukuran perawatan kelak.

Perilaku mencari bantuan untuk disfungsi seksual pada wanita: sebuah lintas studi dari Iran
Mariam Vahdaninia, Ali Montazeri dan Azita Goshtasebi

Abstrak
Latar belakang: Disfungsi seksual wanita (FSD) adalah permasalahan multifaktor yang lazim terjadi dan hingga sekarang masih terjadi kesalahan diagnosa pada perawatan kesehatan pokok. Studi berbasis populasi ini memeriksa perilaku mencari bantuan diantara para wanita yang memiliki FSD di Iran.
Metode-metode: Ini adalah sebuah penelitian menyilang yang dilaksanakan di provinsi Kohgilouyeh-Boyer-Ahmad di Iran. Studi ini dilakukan dengan menggunakan kuota contoh (sampling) semua wanita yang aktif secara seksual berusia 15 tahun ke atas yang terdaftar pada pusat pelayanan perawatan kesehatan pokok. Pengalaman permasalahan seksual dinilai dengan menggunakan kuesioner ad-hoc yang terdiri dari 14 item (disfungsi seksual wanita: survey perilaku mencari bantuan). Para perawat terlatih melakukan wawancara semua peserta kuesioner setelah mendapatkan persetujuan lisan. Data kemudian dianalisa dengan gaya deskriptif.
Hasil-hasil: Pada 1540 wanita yang diteliti. 786 (51%) kasus diantaranya setidaknya pernah mengalami permasalahan FSD. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa 35.8% wanita dengan FSD tidak mencari bantuan profesional atau bantuan ahli dan alasan paling utama adalah: ‘batasan waktu’ dan keyakinan bahwa FSD ‘tidak terjadi pada saya’ (39.1 dan 28.5%). Enam puluh satu persen wanita yang mencari bantuan untuk FSD mengatakan bahwa ‘dokter memberikan dignosa yang tepat kepada saya’ dan ‘memberikan rencana perawatan yang tepat’ pada 57% kasus.
Kesimpulan: Penemuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan FSD sangat lazim dan banyak wanita yang tidak mencari bantuan untuk mengatasi masalah mereka. Penemuan ‘batasan waktu’ dan keyakinan bahwa masalah FSD ‘tidak terjadi pada diri saya’ sebagai alasan yang paling sering disebut untuk tidak mencari bantuan mungkin memfasilitasi untuk memahami penghalang potensial yang ada dalam mengenali dan merawat disfungsi seksual wanita. Karena FSD mungkin memiliki dampak negatif terhadap hubungan antar pribadi/interpersonal dan kualitas kehidupan wanita itu sendiri, tampaknya ada semacam keharusan untuk menyampaikan permasalahan pada layanan perawatan kesehatan pokok baik di tingkat lokal maupun nasional.

Latar Belakang
Disfungsi seksual pada wanita (FSD) adalah permasalahan multifaktor yang lazim terjadi yang terkait dengan gender. Penelitian pada aspek-aspek epidemiologis dari gangguan ini masih sangat jarang. Dan juga, definisi FSD yang tidak konsisten, ciri-ciri populasi yang berbeda dan pembatasan ukuran sampel membuat sulit tingkat perbandingan dari estimasi FSD di tingkat internasional [1]. Sebuah penelitian pada permasalahan seksual diantara para pria dan wanita yang berusia antara 40 hingga 80 tahun dari 29 negara menemukan bahwa hampir separuh dari wanita yang aktif secara seksual pernah mengalami setidaknya satu masalah seksual [2]. Akan tetapi sampel penelitian tidak mewakili populasi orang dewasa dari masing-masing negara.
Penelitian telah menunjukkan bahwa FSD dapat menimbulkan dampak negatif pada hubungan interpersonal dan kualitas kehidupan. Diragukan bahwa keintiman dalam hubungan seksual dan fungsi seksual yang sesuai memiliki peranan penting dalam mempertahankan kepuasan psikologis dan kualitas kehidupan yang baik [3-6]. Demikian pula penelitian menunjukkan bahwa kepuasan dengan hubungan seksual secara fisik dan emosional adalah ramalan kehidupan seksual subyektif yang lebih baik bagi para orang dewasa yang lebih tua [7]. Selain itu, permasalahan seksual dianggap sebagai sebuah lingkaran yang kejam pada gangguan ketidak-suburan dan reproduksi. Tidak bisa memiliki anak mungkin adalah sebuah hasil dari disfungsi seksual yang diabaikan yang dapat diterangkan dalam konsultasi medis. Juga tekanan atau stres diakibatkan oleh ketidak-suburan mungkin akan mempengaruhi seksualitas pasangan atau individu dan menyebabkan kesulitan membangkitkan rangsangan [8].
Fakta-fakta menunjukkan bahwa walaupun tingkat kelaziman gangguan FSD sangat tinggi permasalahan ini seringkali tidak terdeteksi pada layanan perawatan kesehatan [9,10]. Peningkatan pengetahuan dan keahlian pada praktek umum maupun perubahan kontekstual adalah solusi yang disarankan untuk mendapatkan pengendalian yang lebih baik terhadap disfungsi seksual [10]. Banyak orang yang suka membahas permasalahan seksual mereka dengan dokter mereka selama kunjungan rutin mereka [11], namun masih menyisakan pertanyaan apakah para tenaga ahli profesional di bidang perawatan kesehatan ini telah siap untuk menghadapi dengan permasalahan semacam ini.
Sebagai bagian dari penelitian pada kesehatan wanita, sebuah pemeriksaan dilaksanakan untuk menilai kelaziman FSD dan perilaku mencari bantuan diantara para wanita yang aktif secara seksual di provinsi Kohgilouyeh-Boyer-Ahmad, di Iran. Provinsi ini bertempat di barat daya Iran dan memiliki jumlah penduduk sekitar 700.000. Pada umumnya, provinsi ini dikenal sebagai wilayah yang kurang mampu atau miskin namun sistem pelayanan kesehatannya sangat terorganisir dengan baik dan sebagian penduduknya menggunakan layanan kesehatan ini untuk mengobati masalah kesehatan mereka.

Metode-metode

Kumpulan data dan rancangan
Metode ini merupakan penelitian menyilang yang dilaksanakan pada tahun 2005. Sebuah tim yang terdiri dari para perawat terlatih mewawancarai seluruh peserta setelah mendapatkan persetujuan lisan.

Kuesioner
Kuesioner didapati dari literatur [2,12]. Dua orang psikiater dan seorang psikolog klinis menilai dan memastikan keabsahan dari isi kuesioner ini. Lalu kuesioner ini kemudian diuji-coba untuk memeriksa apakah pertanyaannya sudah jelas dan dapat diterima. Mengingat isu-isu kultural dan bahwa survey dilakukan pada sebuah wilayah yang kurang mampu, beberapa item pertanyaan dirubah atau dikurangi. Kuesioner terakhir terdiri dari 1 item pertanyaan dalam tiga bagian: ciri-ciri demografis (3 item), pengalaman FSD (6 item), dan 5 item mengenai perilaku mencari bantua [Berkas tambahan 1]. Permasalahan seksual ditetapkan sebagai: gangguan keinginan (hasrat/DD), gangguan membangkitkan rangsangan (AD), gangguan lubrikasi (LD), gangguan orgasmik (OD), gangguan kepuasan (SD), dan gangguan rasa sakit (PD). Pengalaman dari permasalahan apa saja yang ditetapkan tadi dinilai dengan sebuah pertanyaan tunggal yang dilaporkan sendiri selama 3 bulan terakhir. Tingkat atau taraf gangguan dinilai berdasarkan skala 4-angka. Untuk kategori tanggapan analisa, kategori digabungkan terhadap salah satu dari “eksistensi permasalahan” atau “kekurangan gangguan”.
Perilaku mencari bantuan diantara para wanita dengan FSD dinilai dengan menanyakan pertanyaan ini kepada para wanita: “Apakah anda sudah atau pernah mencari bantuan layanan kesehatan untuk mengatasi masalah anda?” Sebuah daftar layanan diberikan dan lebih dari satu layanan dapat ditunjukkan. Subyek penelitian yang tidak pernah mencari bantuan tenaga ahli profesional diajukan pertanyaan mengenai alasan mereka. Mereka juga ditanya,”Apakah mereka sekarang mau mendapatkan perawatan tersebut?” Terakhir, sikap dan keyakinan terhadap konsultasi medis pada wanita yang mencari bantuan untuk permasalahan mereka juga dinilai.

Sampel penelitian
Dari percobaan penelitian kami memperkirakan bahwa untuk penelitian pokok membutuhkan 1500 sampel dari wanita yang aktif secara seksual. Studi berbasis populasi seluruhnya terdiri dari wanita yang sudah menikah dan aktif secara seksual yang berusia 15 tahun ke atas. Yang tidak termasuk kedalam kriteria penelitian adalah wanita yang sedang hamil, menderita penyakit kronis dan gangguan mental. Untuk memilih sampel populasi yang mewakili, diterapkan sebuah penggolongan tingkat sampling multi area. Setiap wanita yang terdaftar pada pusat layanan kesehatan memiliki kemungkinan yang sama untuk didapatkan sampelnya.

Analisa
Data dianalisa dengan menggunakan SPSS13 pada sebuah gaya deskriptif dan terbatas kepada mereka yang memiliki FSD.

Etika
Penelitian ini disetujui oleh Iranian Academic Center for Education, Culture and Research (ACECR) atau Pusat Akademi Pendidikan, Kebudayaan, dan Penelitian Iran. Semua wanita dalam penelitian ini memberikan persetujuan secara lisan.

Hasil
Dari seluruh 1540 wanita yang diteliti. 786 (51%) diantaranya didapati pernah mengalami FSD. Usia rata-rata dari wanita dengan FSD adalah 33.2 tahun (SD = 9.4%), dan sebagian besar adalah ibu rumah tangga (86.4%). Terdapat perbedaan yang signifikan antara status pendidikan dan pekerjaan dari wanita dengan FSD atau tanpa FSD yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki FSD kurang terdidik dan lebih kepada istri atau ibu rumah tangga. Tabel 1 menunjukkan ciri-ciri demografis dari sampel penelitian.
Distribusi usia dari wanita dengan FSD dan item-itemnya ditunjukkan pada Tabel 2. Gangguan orgasmik (OD) didapati sebagai gangguan yang paling lazim diantara para wanita (38%) dan gangguan lubrikasi (LD) merupakan gangguan yang paling sedikit dilaporkan (21%). Pada kelompok usia yang lebih muda (≤20 tahun) gangguan FSD yang paling sering diperhatikan adalah gangguan rasa sakit (PD, 37%) dan gangguan rangsangan (DD) merupakan gangguan yang paling lazim (61.8%) diantara para wanita dalam kelompok usia yang lebih tua (≥51 tahun).
Tabel 3 menampilkan perilaku mencari bantuan dan alasan-alasan untuk tidak mencari bantuan dalam mengatasi FSD. Pada umumya 505 wanita (64.2%) mencari bantuan konsultasi tenaga ahli profesional dan 281 (35.8%) tidak mencari bantuan satu pun. Sebagian besar wanita ini telah mencari bantuan dari seorang ginekolog atau dokter umum (secara berurutan 33.2% dan 13.9%). Alasan yang paling banyak dilaporkan adalah: ‘saya tidak memiliki waktu’ (39.1%) dan FSD ‘tidak terjadi pada saya’ (28.5%). Juga, ‘Saya merasa malu membicarakan masalah ini’ dan dokter tidak membantu saya’ diungkapkan oleh 9.6% wanita. Akan tetapi, 56.9% dari kasus ini ingin mendapatkan perawatan terhadap gangguan yang mereka idap.
Sikap dan keyakinan terhadap konsultasi medis pada wanita yang telah mencari bantuan untuk mengatasi FSD ditunjukkan pada Tabel 4. Dokter yang telah memberikan pemeriksaan genital (berhubungan dengan kelamin) pada sebagian besar kasus (69%). Berdasarkan pada hasil 60.8% yaitu wanita yang mempercayai bahwa dokter mereka memberikan diagnosa yang tepat. Juga 57% subyek penelitian meyakini bahwa “dokter memberikan rencana perawatan yang tepat dan sesuai”.
Hubungan antara ciri-ciri demografis dan perilaku mencari bantuan untuk wanita dengan FSD juga diteliti. Tidak ada kaitan yang signifikan yang diamati antara wanita yang mencari dan tidak mencari bantuan untuk mengatasi permasalahan FSD mereka berkaitan dengan usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan mereka.

Pembahasan
Penelitian ini memberikan data tingkat kelaziman FSD dan perilaku mencari bantuan pada wanita yang aktif secara seksual mulai dari usia 15 tahun ke atas di Provinsi Kohgilouyeh-Boyer-Ahmad, Iran. Pada penelitian ini permasalahan seksual yang dialami selama 3 bulan terakhir dipertimbangkan sebagai “disfungsi”. Hal ini memungkinkan untuk meminimalisir tanggapan-tanggapan positif yang salah dan menjaga data FSD tetap valid. Sebgian besar wanita juga tertarik untuk ikut serta dalam penelitian dan tingkat tanggapan keseluruhan adalah 92%.
Lima puluh persen dari populasi penelitian (786/1540) pernah mengalami setidaknya satu dari permasalahan seksual dan disfungsi yang paling sering diamati adalah “disfungsi orgasmik” (Tabel 2). Tingginya tingkat kelaziman permasalahan seksual diantara para wanita dilaporkan pada populasi yang berbeda [5, 11-16].
Hasil menunjukkan bahwa 64.2% wanita telah berupaya untuk mencari konsultasi/bantuan medis untuk mengatasi gangguan mereka. Global Study on Sexual Attitude and Behaviours (GSSAB) pada 29 negara menunjukkan bahwa walaupun separuh dari responden yang aktif secara seksual pernah mengalami setidak salah satu dari permasalahan seksual, kurang dari 18% wanita pernah mencari bantuan medis untuk mengatasi permasalahan mereka [2]. Diragukan bahwa mencari bantuan ini mencerminkan tingkat kesadaran dari saran dan perawatan yang mampu disediakan untuk mengatasi gangguan ini [17].
Pada penelitian in sebagian besar wanita telah merujuk kepada seorang ginekolog (33.2%) dab dokter umum (13.9%). Sedangkan sebagian kecil wanita dengan FSD (1.4%) pernah meminta bantuan dari seorang psikiater. Selain itu 15.4% wanita pernah mencari bantuan lebih dari satu orang tenaga ahli profesional (Tabel 3). Hasil penelitian selanjutnya menyatakan bahwa para wanita tidak terpuaskan dengan permulaan pengendaliannya dan mencari konsultasi dari tenaga ahli profesional lainnya. Selain itu bermacam-macam pola pencarian bantuan yang diamati bersifat sugestif bahwa tidak terdapat sebuah diagnosa dan rencana perawatan yang tepat untuk mengatasi FSD pada layanan kesehatan di Iran. GSSAB telah menemukan bahwa para wanita pernah mencari bantuan medis untuk mengatasi permasalahan seksual mereka yaitu sekitar 18.8% dan sekitar 1-8% diantaranya mencari bantuan psikologis (psikiater, ahli psikologis atau penasihat pernikahan) yang pernah dilaporkan [2].
‘Batasan waktu’ dan meyakini bahwa permasalahan ini ‘tidak terjadi pada diri saya’ adalah merupakan alasan yang paling banyak disebutkan untuk tidak berkonsultasi dengan seorang dokter untuk mengatasi FSD. Juga, keyakinan bahwa ‘dokter tidak dapat membantu’ dilaporkan pada 9.6% wanita (Tabel 3). Tampaknya alasan-alasan ini menunjukkan bahwa para wanita dengan FSD tidak menganggap serius permasalahan mereka. Penelitian serupa juga menemukan bahwa perasaan keseriusan dari permasalahan seksual ini akan menghalangi individu-individu dalam membahas kesulitan seksual mereka [18,19]. Selain dari gagasan bahwa ‘permasalahan seksual merupakan adalah bagian yang normal dalam beranjak tua/merasa nyaman dengan diri saya apa adanya’ merupakan alasan yang paling sering disebutkan oleh para wanita pada penelitian GSSAB [2].
Keyakinan lain berkenaan dengan tidak mencari bantuan adalah: ‘Merasa malu untuk berbicara mengenai masalah ini’ dan ‘tidak ditanya oleh dokter pada saat mendatangi dokter’ (Tabel 3). Penemuan serupa menunjukkan bahwa para dokter di Eropa dan negara-negara lain jarang sekali menanyakan pasien mereka mengenai kesehatan seksual mereka selama konsultasi rutin walaupun pasien akan sangat menghargai jika para dokter menanyakannya [2,18,19]. Keengganan untuk memulai pembahasan mengenai kesehatan seksual adalah interaksi dua arah antara pasien dan dokter. Hal ini mungkin sebagian dipengaruhi oleh penghalang dari pasien itu sendiri seperti rasa malu, kurangnya pengetahuan dan presentasi tidak langsung dari penyakit ini [10]. Disisi lain dikarenakan oleh kurangnya pelatihan medis yang sesuai mengenai permasalahan seksual, para dokter menghadapi kesulitan dalam mengendalikan dan merawat gangguan-gangguan ini [20].
Kami menemukan bahwa 81.6% dari wanita yang diteliti yang mencari bantuan konsultasi medis menyetujui bahwa para ‘dokter mendengarkan mereka dengan seksama’ sedangkan 48% lainnya tidak setuju bahwa ‘mereka ditanyai oleh para dokter mengenai kualitas dari kehidupan seksual mereka’ (Tabel 4). Pun 61% dan 57% dari wanita ini setuju bahwa ‘dokter memberikan diagnosa dan rencana perawatan yang tepat kepada mereka’. Tampaknya para dokter seringkali merasa tidak memenuhi syarat untuk menangani pasien yang menderita disfungsi seksual dan ada kebutuhan akan tenaga ahli profesional dan tingkat pendidikan pada pasien maupun layanan perawatan kesehatan sekunder [10,21].
Penelitian ini memberikan informasi yang bermanfaat dan menunjukkan tingkat permasalahan FSD pada sebuah wilayah yang kurang mampu. Akan tetapi, penelitian ini memiliki batasannya sendiri. Ranah-ranah yang berbeda dari disfungsi seksual pada wanita dinilai hanya dengan satu pertanyaan sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa ada tuntutan untuk mengajukan lebih banyak pertanyaan mengenai masing-masing gangguan untuk menjelaskan permasalahan tersebut. Disamping itu, karena penelitian ini bergantung pada impresi/kesan subyektif dari para wanita yang sedang mendapatkan perawatan FSD (Tabel 4), penelitian ini dibatasi dalam menyatakan pengendalian FSD terkini di Iran.

Kesimpulan
Penemuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan FSD sangat lazim dan banyak wanita yang tidak mencari bantuan untuk mengatasi permasalahan mereka. ‘Keterbatasan waktu’ dan keyakinan bahwa permasalahan ini ‘tidak terjadi pada diri saya’ adalah alasan yang paling sering disebutkan yang mungkin dapat memfasilitasi untuk dapat memahami penghalang potensial yang ada dalam mengenali dan perawatan disfungsi seksual pada wanita. Karena FSD mungkin memiliki dampak negatif pada hubungan interpersonal dan kualitas kehidupan wanita, tampaknya ada semacam tuntutan untuk menyampaikan permasalahan ini pada layanan kesehatan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Singkatan
FSD: female Sexual Dysfunction (Disfungsi Seksual pada Wanita); DD: Desire Disorders (Gangguan Hasrat/Keinginan); AD: Arousal Disorders (Gangguan Rangsangan); OD: Orgasmic Disorders (Gangguan Orgasmik); PD: Pain Disorders (Gangguan Rasa Sakit), LD: Lubrication Disorders (Gangguan Lubrikasi); SD: Satisfaction Disorders (Gangguan Kepuasan); GSSAB: Global Study on Sexual Attitudes and Behaviours.

Minat Bersaing
Para peneliti menyatakan bahwa mereka tidak memiliki minat untuk bersaing

Andil/Kontribusi Peneliti
MV menganalisa data dan menulis laporan penelitian. AM memiliki andil dalam analisa data dan menyunting draft akhir. AG merancang dan menjalankan penelitian. Semua peneliti membaca dan menyetujui naskah akhir.

Materi tambahan
Berkas Tambahan 1
Disfungsi seksual pada wanita: survey perilaku mencari bantuan. In iadalah sebuah kuesioner ringkas yang dilaporkan sendiri dalam menilai disfungsi seksual pada wanita dan pada perilaku mencari bantuan. Kuesioner ini juga menanyakan alasan-alasan mengapa tidak mencari bantuan.
Klik disini untuk mendapatkan berkas ini
[http:/www.biomedcentral.com/content/supplementary/1472-6875-9-3-S1.doc]

Bagaimana sampel dipilih?
Apakah jumlah sampel disesuaikan (Perhitungan Kekuatan)?
Metode apa yang digunakan untuk pengacakan? Apakah kriteria pencakupan/pengecualian digunakan?
Apakah pertanyaan penelitian ditentukan?
Seberapa samakah kelompok kontrol dan kelompok intervensi? Apakah terdapat “ketidak tahuan (kebutaan)”?
Terpisah dari intervensi di dalam penelitian, apakah kedua kelompok dianggap sama?
Apakah hasilnya dijelaskan? Apakah semua hasil yang secara klinis signifikan dipertimbangkan? Apakah analisa “niat untuk merawat” digunakan?

1. Apakah studi ini mengatasi masalah yang fokusnya jelas?
Apakah anda mampu menggambarkan studi ini dipandang dari segi partisipan, intervensi di selama penelitian, hasil yang sedang diukur dan perbandingan yang sedang dibuat?
a. Apakah ukuran hasil ini sah dan bermakna?
b. Apakah periode dimana hasilnya diukur adalah sah berkaitan dengan konteks klinis?
2. Apakah penempatan subyek ke dalam perawatan diacak?
3. Apakah semua subyek yang masuk ke dalam percobaan berkontribusi bagi kesimpulan?
Apabila jawabannya “ya” bagi ke tiga pertanyaan di atas, maka terus gali makna artikel ini dengan mencari jawaban untuk pertanyaan:
A2. Apakah terdapat perbedaan apa pun di antara kedua kelompok berkaitan dengan bias penyeleksian atau variabel-variabel yang membingungkan yang dapat menjelaskan perbedaan di antara keduanya? (faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, kelas sosial)
4. Ketidak tahuan (Buta): Apakah subyek, pekerja, pegawai studi “tidak mengetahui (buta) perawatan”?
5. Apakah kelompok tersebut sama pada awal percobaan?
6. Dengan mengecualikan intervensi eksperimental, apakah kedua kelompok tersebut dirawat secara adil?

B. Apa hasilnya?
7. Seberapa besar perbedaan di antara kedua kelompok tersebut? Seberapa besar pengaruh perawatan? (pertimbangkan hasil apa yang dicatat, dan bagaimana perbedaan di antara kedua kelompok tersebut diungkapkan?)
8. Seberapa tepatkah perkiraan pengaruh perawatan? (petunjuk: cari interval-interval konfidensi)

C. Apakah hasilnya membantu secara lokal?
9. Dapatkah hasilnya diterapkan kepada pekerjaan anda (populasi lokal)? (atau, seberapa beda subyek-subyek di dalam studi ini dengan populasi yang menarik minat anda?)
10. Apakah semua hasil yang penting dipertimbangkan? (dan apabila hasil apa pun dihiraukan, maka hal ini mempengaruhi penafsiran)
11. Apakah manfaatnya seimbang dengan kerugiannya dan beresiko? (banyak penelitian dan “tambahan” ini tidak mencakup analisa manfaat biaya, namun apabila memperhatikan bagaimana memilih opsi manajemen, dan berfokus pada anggaran dananya, maka pembiayaan tersebut bisa berguna).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar